Raja Ampat: Konservasi atau Eksploitasi?

Oleh: Kastrat BEM FMIPA UNEJ

Pendahuluan

Raja Ampat adalah wilayah kepulauan di Papua Barat Daya yang dikenal luas sebagai “surga bawah laut” dunia karena memiliki ekosistem laut paling kaya dan kompleks. Namun, belakangan ini wilayah ini menjadi sorotan setelah terungkapnya kasus pemberian izin tambang nikel oleh pemerintah pusat kepada perusahaan swasta, bahkan di pulau-pulau kecil yang sangat rentan terhadap kerusakan ekologis. Viral di media sosial dengan tagar #SaveRajaAmpat, kasus ini memantik diskusi publik tentang arah pembangunan nasional: apakah kita lebih condong pada konservasi lingkungan atau pada eksploitasi sumber daya alam?

Kajian ini disusun untuk membedah polemik tersebut dengan menampilkan alasan penolakan, penerimaan, serta analisis dampak dan sikap resmi dari Kastrat BEM FMIPA UNEJ terhadap ancaman serius terhadap kawasan konservasi Raja Ampat.

Alasan Penolakan Tambang di Raja Ampat

1. Kerusakan Lingkungan dan Ekosistem Laut

Penambangan nikel di pulau kecil seperti Gag dan Kawe tidak hanya menghilangkan hutan tropis primer, tetapi juga menyebabkan erosi tanah dan sedimentasi yang mencemari perairan laut. Sedimentasi menyebabkan air menjadi keruh, yang menghalangi sinar matahari menembus ke dasar laut. Akibatnya, proses fotosintesis terumbu karang terganggu dan menyebabkan kematian massal ekosistem bawah laut.

Padahal, Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, 550 jenis karang, dan ratusan hewan laut endemik. Dengan rusaknya ekosistem ini, Indonesia bukan hanya kehilangan aset pariwisata, tapi juga kredibilitasnya di mata dunia dalam upaya menjaga keanekaragaman hayati. Jika tambang tetap beroperasi, proses regenerasi ekosistem bisa memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun jika tidak permanen rusak.

2. Mengabaikan Hak Masyarakat Adat

Pulau-pulau tempat aktivitas tambang berlangsung dihuni oleh masyarakat adat yang telah secara turun-temurun menggantungkan hidup pada laut dan hutan. Namun, izin tambang dikeluarkan tanpa konsultasi yang berarti dengan mereka. Proses ini melanggar prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yaitu prinsip dasar hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau menolak secara bebas, sebelum ada kegiatan di wilayah adat mereka.

Lebih dari itu, masyarakat adat tidak diberikan akses terhadap dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan aspirasi mereka cenderung diabaikan. Komnas HAM menyebut tindakan ini sebagai bentuk pelanggaran hak ekonomi-sosial budaya (ekosob), di mana masyarakat kehilangan tanah, laut, bahkan identitas budaya mereka.

3. Mengancam Industri Ekowisata Berkelanjutan

Ekowisata adalah tulang punggung perekonomian masyarakat Raja Ampat. Dalam 5 tahun terakhir, pendapatan masyarakat meningkat signifikan dari homestay, pemandu selam, dan jasa perahu. Namun, jika tambang tetap berjalan, turis internasional kemungkinan besar akan mundur karena degradasi lingkungan dan citra negatif kawasan.

Industri pariwisata bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Sebaliknya, tambang bersifat eksploitatif dan temporer. Jika wisatawan enggan datang, maka masyarakat akan kehilangan penghasilan, dan ketergantungan ekonomi pada tambang yang merusak pun menjadi tidak terhindarkan. Dalam jangka panjang, ini justru menciptakan siklus kemiskinan ekologis.

Alasan Penerimaan Tambang (dari Perspektif Pro-Tambang)

1. Potensi Ekonomi Nasional dan Hilirisasi Nikel

Pemerintah pusat beralasan bahwa penambangan nikel di Papua Barat adalah bagian dari program strategis nasional untuk mendukung hilirisasi industri baterai kendaraan listrik. Dengan cadangan nikel Indonesia yang sangat besar, negara ingin menjadi pemain utama dalam industri baterai global.

Mereka melihat tambang sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan daerah dan membuka lapangan kerja baru. Bahkan, beberapa pejabat menyatakan bahwa tambang bisa dikembangkan secara “green mining” dengan teknologi minim dampak lingkungan. Namun, klaim ini belum pernah dibuktikan secara nyata di kawasan se-ekosensitif Raja Ampat.

2. Klaim Legalitas Perizinan

Perusahaan-perusahaan tambang berdalih bahwa izin eksplorasi mereka dikeluarkan secara sah sejak sebelum kawasan Raja Ampat ditetapkan sebagai wilayah konservasi nasional dan cagar biosfer oleh UNESCO. Oleh karena itu, menurut mereka, aktivitas tambang tidak melanggar hukum, karena lokasi tambang berada di luar zona inti konservasi.

Namun, legalitas administratif bukanlah pembenaran moral atas kerusakan ekologis. Banyak ahli hukum lingkungan menyebut bahwa aturan tata ruang dan izin lingkungan di Indonesia masih lemah dan kerap tumpang tindih, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Papua.

Dampak Penambangan di Raja Ampat

1. Kerusakan Ekosistem dan Biodiversitas Laut

Penambangan menyebabkan pencemaran logam berat, kebisingan ekstrem, dan penggundulan hutan. Ekosistem terumbu karang yang rusak akan berdampak pada spesies seperti hiu karpet (wobbegong), pari manta, dan penyu sisik, yang semuanya merupakan hewan langka dan dilindungi. Bahkan, kemungkinan masuknya kapal besar untuk logistik tambang dapat memperparah kerusakan pesisir.

Jika ini dibiarkan, Raja Ampat akan kehilangan status sebagai “epicenter of marine biodiversity” dunia, yang sudah diakui secara internasional oleh World Wide Fund for Nature (WWF) dan Conservation International.

2. Protes Sosial dan Krisis Kepercayaan

Tagar #SaveRajaAmpat menjadi trending topic nasional, menandakan besarnya perhatian publik terhadap isu ini. Aksi mahasiswa, masyarakat adat, dan LSM lingkungan menyerukan pencabutan izin tambang dan perlindungan hak-hak komunitas lokal. Sayangnya, pemerintah belum sepenuhnya transparan mengenai dokumen izin dan hasil evaluasi lingkungan.

Hal ini menciptakan krisis kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah, serta memperburuk ketegangan antara pusat dan daerah. Jika respons pemerintah tidak serius, bukan tidak mungkin akan muncul gerakan perlawanan sipil yang lebih besar di masa depan.

3. Ketegangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Pemerintah daerah Raja Ampat menyatakan tidak dilibatkan secara penuh dalam proses perizinan tambang. Mereka juga khawatir bahwa pemerintah pusat hanya memprioritaskan agenda ekonomi nasional tanpa mempertimbangkan aspek kultural dan ekologis yang menjadi tanggung jawab lokal.

Masalah ini menunjukkan bahwa sistem desentralisasi di Indonesia masih bermasalah dalam praktik, khususnya dalam urusan pertambangan dan konservasi. Ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah perlu segera dievaluasi agar tidak merusak tata kelola lingkungan.

Sudut Pandang Kastrat BEM FMIPA UNEJ

1. Prioritaskan Ekosistem di Atas Eksploitasi

Kastrat BEM FMIPA UNEJ dengan tegas menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang membahayakan ekosistem Raja Ampat. Keanekaragaman hayati tidak bisa dikompensasi dengan keuntungan ekonomi jangka pendek. Raja Ampat adalah warisan ekologis global yang harus dijaga bersama oleh seluruh warga negara.

2. Perkuat Peran Akademisi dan Mahasiswa dalam Advokasi

Mahasiswa dan akademisi harus memainkan peran sebagai garda terdepan dalam kontrol sosial dan penyebaran informasi ilmiah kepada publik. Kampus harus menjadi ruang aman bagi riset ekologis dan pusat advokasi lingkungan hidup. Pengetahuan yang benar adalah fondasi utama melawan propaganda industri.

3. Transparansi, Partisipasi, dan Penegakan Hukum

Seluruh proses perizinan tambang harus dibuka ke publik. Keterlibatan masyarakat adat, akademisi, dan LSM harus dijamin. Pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang terbukti melanggar hukum lingkungan. Kami mendesak adanya moratorium permanen atas segala aktivitas tambang di kawasan konservasi Raja Ampat.

Kesimpulan

Kasus tambang nikel di Raja Ampat menandai benturan antara logika ekonomi dan komitmen konservasi. Meskipun pemerintah mengklaim adanya manfaat ekonomi, dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan jauh lebih besar dan permanen. Kastrat BEM FMIPA UNEJ menegaskan bahwa kawasan Raja Ampat harus tetap steril dari pertambangan dalam bentuk apapun.

Konservasi bukan hanya soal menjaga alam, tapi juga soal menghormati manusia yang hidup di dalamnya. Negara harus memilih: apakah berdiri bersama alam dan rakyat, atau tunduk pada kepentingan modal.

Daftar Pustaka

1. Greenpeace Indonesia. (2025). Laporan Dampak Tambang di Raja Ampat. Diakses dari greenpeace.or.id

2. Komnas HAM. (2025). Kasus Pelanggaran HAM Ekosob di Wilayah Adat Raja Ampat. Diakses dari komnasham.go.id

3. Kementerian LHK. (2025). Evaluasi IUP Tambang di Kawasan Konservasi. Diakses dari klhk.go.id

4. CNN Indonesia. (2025). Prabowo Cabut Izin Tambang di Raja Ampat. Diakses dari cnnindonesia.com

5. Tirto.id. (2025). Mengapa #SaveRajaAmpat Viral di Media Sosial. Diakses dari tirto.id

6. Jawapos. (2025). 5 Fakta Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat. Diakses dari jawapos.com