VAMPIR APAKAH NYATA?

  Halo warga MIPA! Tahukah kalian mengenai vampir? Pasti kalian tidak asing dengan istilah satu ini. Salah satu film vampir yang cukup populer adalah film “Twilight” dimana film ini mengisahkan tentang Edward Cullen beserta keluarganya yang hidup ratusan tahun lamanya sebagai vampir. Vampir didefinisikan sebagai makhluk yang hidup dengan menghisap darah dan hidup di malam hari dikarenakan kulitnya tidak dapat terkena sinar matahari. Tapi apakah memang benar ada vampir di dunia nyata? Lalu bagaimana dengan penjelasan sains mengenai vampir? Yuk simak penjelasan berikut.

  Vampir adalah salah satu dari beberapa monster yang paling abadi yang telah kita ciptakan. Penyakit-penyakit yang mewabah pada zaman nenek moyang dahulu berperan besar atas penciptaan mereka. Penyakit-penyakit tersebut adalah sesuatu yang menakutkan sebelum zaman pengobatan ilmiah. Wabah dan penyakit menular dapat muncul tanpa pertanda dan menyebabkan kematian serta kesengsaraan. Bukan hanya wabah penyakit saja. Penyakit-penyakit lainnya, yang mungkin ditularkan oleh binatang-binatang atau berada di gen ‘yang sedang tidak aktif’ yang berada di tubuh manusia, dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang membutuhkan penjelasan ilmiah. Namun, orang-orang malahan beralih ke hal-hal supernatural. Beberapa dari penyakit ini membantu ‘melahirkan’ salah satu mitos monster yang paling dikenal luas di peradaban manusia, yaitu vampir.

  Vampir, suatu sosok makhluk yang mati dan hidup kembali yang bangkit tiap malam dari makamnya untuk minum darah manusia, telah muncul sejak zaman Yunani Kuno. Sementara beberapa filsuf tua bijaksana yang masih kita kagumi saat ini mungkin bisa hidup hingga umur 70-an tahun, tapi angka harapan hidup rata-rata pada zaman Yunani Kuno adalah sekitar 28 tahun saja. Pada masa berabad-abad sebelum ada sanitasi, lemari pendingin dan antibiotik itu penyakit-penyakit lebih merajalela dan jauh lebih memungkinkan membuat orang mati muda. Tapi, tanpa mikroskop untuk mempelajari ‘penyerang’ kecil ini, komunitas pada zaman dulu melihat adanya campur tangan supernatural pada banyak penyakit. Misalnya saja penyakit porfiria (berasal dari bahasa Yunani yaitu πορφύρα yang berarti warna ungu, merupakan penyakit keturunan genetika) yang berdampak pada heme yaitu komponen atom besi yang membantu membentuk hemoglobin di sel darah merah kita.

  Porfiria adalah kelompok penyakit cacat enzimatik yang diwariskan atau diperoleh dari biosintesis heme. Setiap jenis porfiria memiliki pola karakteristik kelebihan dan akumulasi prekursor heme berdasarkan lokasi dari disfungsional enzim dalam sintetik jalur heme. Porfiria, sekelompok delapan kelainan darah yang diketahui, mempengaruhi mesin molekuler tubuh untuk membuat heme, yang merupakan komponen protein pengangkut oksigen, hemoglobin. Ketika heme berikatan dengan besi, ia memberi darah warna merah yang khas. Variasi genetik yang berbeda yang mempengaruhi produksi heme menimbulkan presentasi klinis yang berbeda dari porfiria yang menjadi asal muasal untuk cerita rakyat vampir.


Gambar 1.1 Porphyrins and bile pigmentss heme metabolism

  Erythropoietic protoporphyria (EPP), jenis porfiria yang paling umum terjadi pada masa kanak-kanak, menyebabkan kulit orang menjadi sangat sensitif terhadap cahaya. Paparan sinar matahari yang terlalu lama dapat menyebabkan lecet yang menyakitkan dan merusak. Orang dengan EPP mengalami anemia kronis, yang membuat mereka merasa sangat lelah dan terlihat sangat pucat dengan peningkatan fotosensitivitas karena mereka tidak bisa keluar di siang hari. Bahkan pada hari berawan, ada cukup sinar ultraviolet untuk menyebabkan kulit melepuh dan cacat pada bagian tubuh, telinga, dan hidung yang terbuka. Tinggal di dalam rumah pada siang hari dan menerima transfusi darah yang mengandung kadar heme yang cukup dapat membantu meringankan beberapa gejala gangguan. Pada zaman dahulu, cara yang digunakan untuk mengatasi gejala ini adalah dengan meminum darah hewan dan muncul hanya di malam hari, sehingga hal ini mendukung cerita untuk legenda vampir.

  Untuk menghasilkan heme, tubuh melalui proses yang disebut sintesis porfirin, yang terutama terjadi di hati dan sumsum tulang. Setiap cacat genetik yang mempengaruhi proses ini dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk memproduksi heme; penurunan produksi heme menyebabkan penumpukan komponen protoporfirin. Dalam kasus EPP, jenis protoporfirin yang disebut protoporphyrin IX terakumulasi dalam sel darah merah, plasma dan kadang-kadang hati. Ketika protoporphin IX terkena cahaya, ia menghasilkan bahan kimia yang merusak sel-sel di sekitarnya. Akibatnya, orang dengan EPP mengalami pembengkakan, rasa terbakar dan kemerahan pada kulit setelah terpapar sinar matahari bahkan sedikit sinar matahari yang melewati kaca jendela. Beberapa jalur genetik yang mengarah pada pembentukan protoporfirin IX telah dijelaskan, tetapi banyak kasus EPP tetap tidak dapat dijelaskan. Dengan melakukan pengurutan gen mendalam pada anggota keluarga dari Perancis Utara dengan EPP dari tanda tangan genetik yang sebelumnya tidak diketahui, tim Paw menemukan mutasi baru dari gen CLPX, yang berperan dalam pelipatan protein mitokondria.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa vampir tidaklah nyata. Tetapi terdapat beberapa kondisi klinis yang menyebabkan seseorang terlihat memiliki ciri-ciri seperti vampir.

SUMBER
https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-37849832
https://www-sciencedaily-com.translate.goog/releases/2017/09/170906144930.htm?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc,sc
Rukmana, A., & Arifin, J. Anestesi pada Pediatrik dengan Kelainan Porfiria Herediter. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia). 4(3): 193-204.