Revitalisasi Gender, Hindarkan Predator Seksual di Kampus
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dianut Indonesia bersumber dari Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Pelaksanaan HAM merupakan pengakuan resmi dari negara tentang wujud nyata HAM yang dikuatkan dengan Undang-Undang. Adanya landasan HAM ini setidaknya diharapkan dapat mengurangi terjadinya pelanggaran terhadap HAM. Meski perlindungan HAM telah menjadi gerakan global, tapi pelanggaran HAM masih sering terjadi. Isu-isu mengenai pelanggaran HAM banyak terjadi pada lingkup masyarakat sipil, aparat bahkan pada lingkungan kampus atau perguruan tinggi.
Kampus atau perguruan tinggi merupakan tempat belajar yang digunakan oleh mahasiswa untuk meneruskan studi mereka ke bidang dan jurusan sesuai dengan minat masing-masing. Tempat yang seharusnya dipenuhi oleh orang-orang berpendidikan tinggi serta berakhlak mulia, nyatanya tidak seindah dengan apa yang dibayangkan. Faktanya dalam perguruan tinggi terdapat kekerasan HAM yang nyata, yaitu kekerasan seksual.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, sebanyak 63% diantaranya tidak melaporkan adanya kasus kekerasan seksual dikarenakan khawatir akan adanya stigma negatif. Selain itu, data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan terdapat 27% laporan pengaduan kekerasan seksual pada lingkup kampus atau perguruan tinggi. Dengan pelaku kekerasan seksual yaitu sebanyak 43% dilakukan oleh Guru/Ustadz tercatat ada 22 kasus, sebanyak 19% dilakukan oleh Dosen tercatat ada 10 kasus, sebanyak 15% dilakukan oleh Kepala Sekolah tercatat ada 8 kasus, sebanyak 11% dilakukan oleh peserta didik lain tercatat ada 6 kasus, sebanyak 5% dilakukan oleh pihak lain tercatat ada 3 kasus, dan sebanyak 4% dilakukan oleh pelatih tercatat ada 2 kasus.
Laporan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan ke Komnas Perempuan menunjukkan bahwa perguruan tinggi dan pondok pesantren menjadi lembaga yang paling banyak menerima pengaduan mengenai adanya kasus kekerasan seksual. Tercatat sebanyak 14 laporan yang berasal dari perguruan tinggi sepanjang 2015 hingga Agustus 2020. Jumlah kasus kekerasan seksual kembali meningkat selama lima tahun terakhir. Dalam rentang waktu 2016 hingga 2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual berupa kasus pemerkosaan dan pencabulan hingga mencapai 31%. Peningkatan kasus kekerasan seksual pada tahun 2016 mencapai 5.237 kasus sementara pada tahun 2020 kembali meningkat menjadi 6.872 kasus.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Peraturan tersebut dikeluarkan karena banyaknya kegelisahan mengenai peningkatan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Selama ini kasus demi kasus telah terjadi, tetapi masih kurang adanya respon serta penanganan terhadap permasalahan ini. Selain itu, ketakutan akan rusaknya nama baik dari pihak kampus membuat permasalah ini belum menemui langkah penyelesaian. Adanya peraturan tentang PPKS menuai banyak dukungan, akan tetapi tidak sedikit juga yang menolak dikeluarkannya peraturan tersebut.
Lantas hal apa yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra dalam permasalahan ini?
Beberapa kalangan menganggap bahwa Permendikbud Ristek sangat progresif dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual kepada para korban karena jelas mengatur tentang consent (persetujuan). Tanggapan berbeda diberikan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai bahwa peraturan ini memiliki potensi dalam hal melegalkan zina di lingkungan kampus. Potensi ini muncul karena adanya kata consent/persetujuan dalam pasal di peraturan tersebut. Hal ini dapat memunculkan makna legalisasi terhadap perbuatan seks bebas berdasar persetujuan kedua belah pihak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut memberikan pendapatnya mengenai Permendikbud Ristek tersebut. MUI meminta pemerintah untuk mencabut atau mengevaluasi dan merevisi peraturan tersebut dengan memasukkan materi yang muatannya sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945, dan nilai bangsa karena keberatan dengan frasa terkait persetujuan korban atau yang dikenal dengan istilah consent. Frasa tersebut dapat diartikan sebagai dukungan atas pelegalan seks bebas. MUI juga meminta agar frasa “kekerasan seksual” diganti menjadi “kejahatan seksual” karena dianggap lebih komprehensif dibanding kekerasan seksual.
Nadiem Makarim merespon berbagai pro dan kontra yang muncul dari peraturan yang dikeluarkan. Beliau mengatakan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut tidak untuk mendukung seks bebas dan perzinaan. Tujuan dari dikeluarkannya peraturan tersebut sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam Permendikbud Ristek diartikan sebagai bentuk perbuatan yang dilakukan secara paksa tanpa adanya persetujuan dari korban.
Pro dan kontra terhadap lahirnya suatu peraturan pemerintah merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi. Akan ada pihak yang setuju dan akan ada pihak lain yang menolak. Selanjutnya, dari pro dan kontra yang ada dikembalikan kepada pemerintah bagaimana merespon spekulasi-spekulasi yang muncul. Spekulasi-spekulasi yang muncul tidak lain merupakan bentuk semangat yang diberikan dari berbagai pihak untuk pencegahan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini bukanlah permasalahan yang sepele. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan trauma dan efek psikis yang menghantui para korban. Tujuan dari adanya peraturan ini sangat baik akan tetapi pemerintah juga perlu menerima masukan-masukan terkait frasa maupun isi pasal. Hal ini untuk meminimalisir tafsiran-tafsiran yang dapat disalahgunakan kedepannya sehingga dengan adanya revisi kembali dapat menciptakan solusi yang diharapkan oleh semua pihak. Sebagaimana dengan adanya Permendikbud Ristek tentang PPKS dan juga pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu tindak pidana pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Adanya peraturan-peraturan tersebut, diharapkan dapat mencegah dan memberikan efek jera kepada para predator kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Deretan Kasus Bermunculan
Kasus kekerasan seksual kembali menarik perhatian dalam sebuah video berdurasi 13 menit 24 detik, seorang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional UNRI melalui akun Instagram @komahi_UR, mengaku dilecehkan oleh Dekan Fisipol UNRI, sekaligus dosen pembimbingnya, Syafri Harto. Korban yang berinisial L menyebutkan kejadian tidak mengenakan itu berlangsung pada Rabu, 27 November 2021 sekitar pukul 12.30 WIB saat melakukan bimbingan proposal skripsi. Saat selesai bimbingan, korban menyatakan Syafri Harto menggenggam bahu korban dan mendekatkan badannya, lalu pelaku memegangi kepala korban dan mencium pipi kiri serta kening korban.
Keesokan harinya Jumat 5 November 2021, korban dengan dukungan orang terdekatnya melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya ke Polresta Pekanbaru. Pada hari yang sama, ratusan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Rektorat Universitas Riau. Massa aksi meminta Syafri Harto mengakui tindakannya dan meminta maaf kepada korban serta keluarganya. Selain itu mahasiswa juga meminta Syafri Harto menerima semua sanksi yang akan diterima nanti dari pihak rektor.
Merasa tersudutkan, akhirnya Syafri Harto angkat bicara. Pada tanggal 5 November 2021, ia membantah tuduhan pelecehan seksual yang ditudingkan padanya. Menurutnya, tuduhan itu dilontarkan berkaitan dengan kabar dirinya yang akan maju pada pemilihan Rektor UNRI di tahun depan. Syafri Harto juga akan mencari aktor intelektual di balik video viral tersebut. Bahkan, ia akan menuntut mahasiswi yang sudah menudingnya melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Tak main-main, angka yang disampaikan untuk menuntut pihak yang telah menudingnya itu sebanyak Rp 10 miliar.
Penegakan Hukum yang Rumit
Syafri Harto diperiksa dengan status sebagai saksi atas kasusnya di Mapolda Riau. Selang beberapa jam menjalani pemeriksaan, sekitar pukul 15.05, Syafri Harto didampingi pengacaranya keluar dari salah satu ruangan dari gedung Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Riau. Kamis 18 November 2021, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau menetapkan Syafri Harto menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan atas mahasiswi bimbingannya, setelah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan sejumlah saksi.
Selasa 30 November 2021, berkas kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Syafri Harto dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Riau dari penyidik Polda Riau. Namun saat itu berkas tersebut dinilai belum lengkap oleh pihak Kejati Riau, dan berkas tersebut dikembalikan ke penyidik Polda Riau untuk dilengkapi. Kamis 6 Januari 2021, berkas dugaan pelecehan oleh Syafri Harto dinyatakan lengkap oleh kejaksaan tinggi Riau. Hal itu dibenarkan oleh Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau, Raharjo Budi Krisnanto membenarkan hal tersebut, tetapi pihaknya masih menunggu penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik Polda Riau.
Syafri Harto resmi ditahan setelah yang bersangkutan beserta barang bukti dilimpahkan penyidik Polda Riau ke Kejati Riau, Senin 17 Januari 2022. Kepala Kejati Riau, Jaja Subagja mengatakan sebelum pelimpahan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan berkas dan pemeriksaan kesehatan Syafri Harto. Kejati melakukan penahanan sebab dikhawatirkan yang bersangkutan dapat menghilangkan barang bukti, mempersulit persidangan atau bahkan mengulangi perbuatannya. Selain itu, Jaja menjadwalkan Syafri Harto akan disidang tak lama setelah pelimpahan.
Sidang perdana Syafri Harto atas tuduhan pelecehan seksual dihadirinya secara virtual dengan didampingi tiga penasihat hukumnya. Dalam sidang itu kuasa hukum Syafri Harto, Dodi Fernando menilai dalam surat dakwaan tersebut ada beberapa yang perkara yang tidak diuraikan secara jelas. Salah satunya pasal pencabulan menjerat terdakwa ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dalam uraian peristiwa tidak terurai. Dodi juga menilai bahwa kasus ini terlalu dipaksakan sebab hanya keterangan korban yang menjadi dasar penegakan hukum perkara ini.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Syafril menjelaskan pihaknya mendakwa Syafri Harto dengan pasal 289 KUHP tentang pencabulan. Pihaknya mengajukan Syafri Harto hukuman tahanan selama tiga tahun penjara dan menuntut mengganti uang yang dikeluarkan korban untuk kasus ini, yaitu sebesar Rp10 juta 700 ribu. Rabu 30 Maret 2022, Hakim memutuskan Syafri Harto tak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan JPU. Karena itu, hakim menyatakan Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan dan terdakwa harus dibebaskan. Hakim menilai unsur dakwaan baik primer dan subsider tidak terpenuhi. Putusan tersebut membuat korban sangat terpukul. Kawan-kawan yang sejak awal mendampingi korban juga terkejut dan tidak terima dengan putusan tersebut.
Bagaimana Korban Kekerasan Seksual dapat Speak Up?
Proses hukum kasus kekerasan seksual tidak sederhana. Kecenderungan mahasiswi yang menjadi korban tidak mau melaporkan tindak kekerasan seksual yang menimpanya karena masalah relasi kuasa, terutama jika pelakunya adalah dosen. Mahasiswi yang menjadi korban takut, jika dia melapor akan berdampak pada proses kuliah yang sedang dijalani. Kenyataan yang terjadi ketika korban sudah berani mengungkapkan kekerasan yang dialaminya namun respon yang ditunjukkan tidak sesuai menambah keyakinan para korban untuk tetap diam akan kekerasan yang mereka alami. Stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, membuat para korban enggan mengungkap kasus yang mereka alami. Selain itu, adanya ancaman tuntutan hukum berupa pencemaran nama baik yang mungkin dilakukan pelaku semakin membuat posisi korban tersudutkan. Pemerintah dan pihak kampus perlu memberikan wadah untuk penguatan dan menyadarkan korban agar berani berbicara. Selain itu perlunya orang-orang terdekat untuk meyakinkan dan memberikan penguatan pada korban sedangkan kasus kekerasan seksual di Indonesia hanya tersedia waktu enam bulan sejak kejadian bagi korban untuk melaporkan pelaku kepada polisi. Jika melewati tenggat itu, ada kemungkinan laporan tidak akan diproses. Oleh karena itu pemerintah perlu merevisi adanya peraturan mengenai tenggat waktu pelaporan kasus kekerasan seksual karena pada kenyataannya sulit bagi korban untuk dapat mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang pernah mereka alami.
Referensi
Kemdikbud. 2021. Wujudkan Lingkungan Perguruan Tinggi yang Aman dari Kekerasan Seksual. [Serial Online]. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/12/wujudkan-lingkungan-perguruan-tinggi-yang-aman-dari-kekerasan-seksual. (diakses pada tanggal 12 Maret 2022).
Klara, Inge Safitri. 2021. Pandemi Kekerasan Seksual di Kampus dan Pro Kontra Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021. [Serial Online]. https://interaktif.tempo.co/proyek/kekerasan-seksual-di-kampus/index.html#:~:text=Merujuk%20pada%20survei%20yang%20dilakukan,karena%20khawatir%20terhadap%20stigma%20negatif. (diakses pada tanggal 11 Maret 2022).
Komnas Perempuan. 2022. Pengesahan RUU TPKS. [Serial Online]. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/pengesahan-ruu-tpks . (diakses pada tanggal 22 April 2022).
Meliana, Ruth Dwi Indriani. 2022. Serukan #PercumaSpeakUp, Komahi Unri Bongkar Kronologi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual. [Serial Online]. https://www.suara.com/news/2022/04/05/120548/serukan-percumaspeakup-komahi-unri-bongkar-kronologi-kasus-dugaan-kekerasan-seksual?page=all. (diakses pada tanggal 4 April 2022
Pahlevi, Reza. 2021. Jumlah Kasus Pemerkosaan dan Pencabulan Meningkat 31% dalam Lima Tahun Terakhir. [Serial Online]. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/15/jumlah-kasus-pemerkosaan-dan-pencabulan-meningkat-31-dalam-lima-tahun-terakhir . (diakses pada tanggal 13 Maret 2022).
Pahlevi, Reza. 2021. Kampus dan Pesantren Paling Banyak Terima Laporan Kekerasan Seksual. [Serial Online]. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/17/kampus-dan-pesantren-paling-banyak-terima-laporan-kekerasan-seksual. (diakses pada tanggal 12 Maret 2022).
Putri, Sofi. 2022. Data Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia. [Serial Online]. https://owntalk.co.id/2022/01/12/data-kasus-kekerasan-seksual-di-indonesia/. (diakses pada tanggal 12 Maret 2022).